Minggu, 01 Mei 2011

kaidah fiqhiyyah


MAKALAH
Kaidah :
"الأصل في الكلام الحقيقة"
dan
"لا مساغ للا جتهاد في مورد النص"

Mata kuliah : Qawaid al Fiqhiyah
Dosen Pengampu :
K. H. Sahlul Khuluq, Lc. M.H.i









Oleh:
Faizin

AL JAMI’AH LI ULUM AL QUR’AN WA AL TAFSIR
TARBIYATUT THOLABAH
Kranji Paciran Lamongan
2010












BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Menggunakan perkataan untuk mengungkapkan maksud adalah aktifitas yang sering kita lakukan dalam keseharian, bahkan hampir tidak bisa ditinggalkan. Dalam penggunaan kata terkadang kita memakai kata dengan makna yang haqiqah dan terkadang kita juga memakai majaz. Adanya dua makna tersebut akhirnya membawa kesebuah masalah yaitu kata yang mana yang dihukumi jika terjadi pengungkapan maksud dalam aktifitas syar’i dengan kata yang mempunyai dua makna itu. Atas dasar itulah perlu kiranya kita membahas kaidah yang berhubungan dengan hal itu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa maksud dari kaidah "الأصل في الكلام الحقيقة" ­­­­?
2.      Bagaimana penerapan  "الأصل في الكلام الحقيقة" ­­­­ dalam aktifitas keseharian?
3.      Apa maksud dari kaidah "لا مساغ للا جتهاد في مورد النص"?
4.      Bagaimana penerapan kaidah "لا مساغ للا جتهاد في مورد النص" dalam aktifitas keseharian?
C.     Tujuan Pembahasan
1.       Memahami maksud dari kaidah "الأصل في الكلام الحقيقة" ­­­­?
2.      Mengetahui penerapan kaidah  "الأصل في الكلام الحقيقة" ­­­­ dalam aktifitas keseharian?
3.      Memahami maksud dari kaidah "لا مساغ للا جتهاد في مورد النص"?
4.      Mengetahui penerapan kaidah  "لامساغ للا جتهاد في مورد النص" dalam aktifitas keseharian?













BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian makna haqiqah dan majaz
Ucapan itu dibagi menjadi dua yaitu ucapan dengan makna haqiqah dan ucapan dengan makna majaz. Makna haqiqah itu makna yang asal, sedangkan makna majaz itu makna yang kedudukannya di bawah makna asal.
Dalam penggunaan kedua jenis ucapan tersebut makna haqiqah lebih diutamakan selama tidak ditemukan penguat bahwa makna yang dimaksud adalah makana majaz,  makna haqiqah lebih diutamakan karena kedudukannya yang merupakan makna yang asal.
Pengertian haqiqah adalah sebuah kata yang mempunyai makna sesuai dengan makna aslinya baik secara etimologi maupun terminologi. Seperti penggunaan kata mati dengan makna hilangnya nyawa, karena itu sesuai dengan makna asal secara etimologi kata mati adalah hilangnya nyawa, seperti juga penggunaan kata wasiat oleh pakar syari’at dengan makna pemindahan kepemilikan, karena itu sesuai dengan makna asal wasiat secara terminologi pakar syari’at.
Sedangakan pengertian majaz adalah sebuah kata yang mempunyai makna yang tidak sesuai dengan makna asal baik secara etimologi maupun terminologi karena adanya bukti bahwa makna yang dipakai bukanlah makna yang asal. Seperti penggunaan kata pembunuhan dengan makna penyiksaan, karena itu tidak sesuai dengan makna asal secara etimologi kata pembunuhan, Seperti juga penggunaan kata wasiat oleh pakar syari’at dengan makna janji, karena penggunaan kata wasiat dengan makna janji tidak sesuai dengan makna asal wasiat dalam terminologi syari’at.


B.     Kaidah "الأصل في الكلام الحقيقة"
“Hukum asal dalam ucapan adalah makna haqiqah”
Yang dikehendaki kaidah "الأصل في الكلام الحقيقة" adalah jika terjadi penggunaan kata yang biasa dipakai dengan dua makna, yaitu makna haqiqah dan makna majaz tanpa dibarengi dengan penguat yang menguatkan salah satu dari dua makna yang dipunyai. Maka yang dipilih adalah makna yang haqiqah bukan makna majaz. Karena seperti yang diterangkan diatas makna majaz adalah makna yang kedudukannya dibawah makna haqiqah  maka secara otomatis makna haqiqah lebih diunggulkan dari makna majaz.
Seperti contoh dalam ayat :
"ولا تنكحوا ما نكح آباؤكم من النساء ”
Lafadz nikah secara makna haqiqah adalah seks, sedangkan secara makna majaz adalah akad. Kedua makna lafadz nikah itu sering digunakan. Maka jika ada penggunaan lafadz nikah tanpa dibarengi penguat dari salah satu dari dua makna yang dipunyai lafadz nikah, makna yang diunggulkan adalah makna majaz. Jadi ayat di atas  menerangkan tentang keharaman bersetubuh dengan orang tua itu berdasarkan nash. Sedangkan keharaman melakukan akad dengan orang tua itu berdasarkan ijma’.
Namun jika seandainya ditemukan penguat yang mendukung makna majaz maka makna yang dipilih adalah makna majaz.
C.     Kaidah "لامساغ للا جتهاد في مورد النص"
Tidak ada peluang bagi ijtihad untuk menggeser sesuatu yang bersumber dari nash
Karena hukum syar’i itu adalah perkara yang dihasilkan dari nash, maka tidak memerlukan pengerahan kemampuan dalam menghasilkannya. Sedangkan ijtihad itu sifatnya dzanny maka sesuatu yang dihasilkan darinya juga merupakan perkara yang sifatnya dzanny berbeda dengan sesuatu yang dihasilkan dari nash itu sifatnya pasti. Tidak mungkin sesuatu yang sifatnya pasti ditinggalkan karena sesuatu yang sifatnya dzanny.
Pembagian dalil lafdzy dilihat dari aspek pemberian informasinya itu dibagi menjadi empat, yaitu :
a.     ظاهر : yaitu dalil yang sudah jelas maksudnya namun masih mungkin ditakwil
b.    نص    : hampir sama dengan ظاهر hanya saja keterangan yang ditunjukkan نص lebih jelas.
c.     مفسر  :Dalil yang keterangannya lebih jelas dari pada نص, dan tidak menerima takwil.
d.    محكم   : Dalil yang sudah menjelaskan maksud yang sangat jelas dan tidak ada kemungkinan takwil dan naskh.
Hubungan keterangan di atas dengan kaidah ini adalah mengenai nash yang mana yang hasil hukumnya tidak bisa digeser oleh hasil ijtihad.
Untuk dilalah poin a dan b, itu merupakan dalil yang masih mungkin ditakwil, maka masih mungkin dilakukan ijtihad dalam kedua dalil itu. Sedangkan dalil poin c dan d merupakan dalil yang dimaksud dengan nash dalam kaidah "لامساغ للا جتهاد في مورد النص" yaitu nash yang tidak mungkin digeser dengan ijtihad.




D.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat kami simpulkan beberapa kesimpulan, diantaranya :
  1. Lafadz dengan makna haqiqah itu lebih diunggulkan dari pada makna majaz karena makna haqiqah itu adalah makna asli. .
  2. Jika terdapat lafadz yang mempunyai dua makna yang sama dan tidak dibarengi dengan penguat yang menguatkan salah satu dari dua makna yang dipunyai, maka makna yang dipilih adalah makna asli.
  3. Jika dalam sebuah lafadz yang mempunyai dua makna dan dibarengi penguat yang menguatkan salah satu dari dua makna, maka makna yang dipiih adalah makna yang unggul.
  4. Nash yang bersifat qath’i itu tidak bisa digeser dengan ijtihad, karena ijtihad itu sifatnya dzanny.

E.     Saran – saran
a.       Kami mengharap teman – teman untuk menggali lebih jauh pengetahuan tentang hadits.
b.       Kami mengharap teman – teman untuk lebih kompak dalam mengerjakan tugas agar bisa mendapat manfaat yang maksimal dari pembuatan makalah.
Demikian sajian makalah ini semoga apa yang kami uraikan dalam makalah ini bisa memberi manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini.
Dalam pembahasan makalah ini kami sepenuhnya sadar masih banyak kekurangan di sana – sini, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan demi lebih baiknya penyusunan makalah mendatang.

1 komentar: