Oleh : faizin
| 14-Jan-2008, 22:29:27 WIB
Tulungagung, Kharisma Kiai Mustaqim bin Hussein dan Kiai Abdul Djalil Mustaqim, pengasuh pondok pesantren Pesulukan Tareqot Agung (Peta) Tulungagung, Jawa Timur, tak juga surut meski keduanya sudah wafat. Nyatanya, ribuan santri tareqot dari berbagai penjuru Indonesia yang menjadi murid-muridnya, tetap saja berdatangan saat pondok tareqot ini menggelar haul, Minggu
Tak pelak, peringatan haul KH. Mustaqim bin Huseein ke-38, KH Abdul Djalil Mustaqim ke-3 dan Nyai Sakdiyah ke-20 itu, benar-benar berlangsung luar biasa. Ribuan santri bukan hanya memadati kompleks pondok yang berlokasi di jantung Kota Tulungagung ini. Tapi, mereka juga membludak hingga memadati alun-alun dan jalan-jalan di kawasan pusat kota penghasil marmer itu.
Selain menyedot perhatian para santri, haul Pondok Peta juga memberikan daya tarik tersendiri bagi para kiai maupun pejabat pemerintahan. Dalam haul kali ini, tampak hadir, Wakil Ketua DPR RI, Muhaimin Iskandar, Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Propinsi Jawa Timur, Soekarwo, dan Bupati Tulungagung, Heru Tjahjono. Dari kalangan kiai, terlihat KH. Chaedar Muhaiminan (putra KH. Muhaiminan), Habib Umar Muthohar, KH. Imron Jamil, dan DR. KH. Lukman Hakim.
Yang istimewa lagi, dalam setiap haul, keluarga Pondok Peta selalu memberi sajian nasi kotak dan minuman air mineral kepada semua santri yang hadir meski jumlahnya mencapai puluhan ribu orang. Untuk keperluan haul, tak kurang sekitar 2.500 personil santri dikerahkan dalam kepanitiaan.
‘'Dalam haul kali ini, kami melibatkan sekitar 2.500 orang personil kepanitiaan,'' terang Moh Athiyah SH, wakil Bupati Tulungagung selaku wakil keluarga Pondok Peta. Rangkaian acara haul berlangsung sejak pagi hingga dini hari. Sebagai penutup haul digelar mauidzah (pengajian) yang disampaikan KH. Chaedar Muhaiminan dan Habib Umar Muthohar.Dalam mauidzahnya, KH Chaedar Muhaiminan maupun Habib Umar banyak mengupas seputar tareqot assadziliyah yang diajarkan KH.Mustaqim dan KH. Abdul Djalil.
‘'Walaupun beliau sudah wafat, ajaran tareqat yang telah diajarkan beliau harus tetap kita amalkan.Sekarang, peran Beliau diteruskan putranya, Gus Salahuddin Al Ayyubi,'' kata KH Chaedar Muhaiminan ini.
Dalam kesempatan haul ini, keluarga Pondok Peta juga menghimbau para santri jamaah tareqot untuk melakukan gerakan tanam pohon. ‘'Bencana alam telah terjadi di mana-mana.Keluarga Pondok Peta menghimbau kepada semua santri di semua penjuru tanah air untuk melakukan tanam pohon. Pohon apa pun, silahkan ditanam,'' pinta Moh Athiyah menyampaikan pesan keluarga Pondok Peta.
KabarIndonesia - Tulungagung, Sudah 38 tahun silam, KH Mustaqiem bin Hussain berpulang. Sudah tiga tahun pula, putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem yang meneruskan perjuangannya wafat. Namun begitu, ketokohan dan keteladanan dua kiai kharismatik dari pondok pesantren Pesulukan Tareqot Agung (Peta) Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, ini seakan tak pernah terputus.
Santri yang menjadi pengikut ajarannya masih saja terus mengalir ke Pondok Tareqot yang berlokasi di Jl. KH. Wakhid Hasyim, Kelurahan Kauman, Kecamatan Kota Tulungagung ini. Faktanya, setiap setahun sekali dihelat peringatan haul, santri yang berdatangan ke pondok Peta benar-benar luar biasa. Pondok yang kini diasuh putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem, Charir Mohamad Sholahudin Al Ayyubi (Gus Saladien) itu sama sekali tak kehilangan daya magnetik-nya. Dalam haul yang digelar, Minggu (13/1/2007) kemarin, misalnya, puluhan ribu santri jamaah Pondok Peta dari berbagai pelosok Indonesia tumplek blek membanjiri Kota Tulungagung.
Ketokohan dan keteladanan KH Mustaqiem yang masih keturunan dari Mbah Penjalu itu agaknya tetap meninggalkan ‘goresan' tersendiri di kalangan santri tareqot yang menjadi pengikutnya. ‘'Setiap haul, keluarga kami pasti ke Pondok Kiai Mustaqim dan Abdul Djalil ini,'' tutur beberapa santri Peta dari Blora, Jawa Tengah.Tak tanggung-tanggung.Para santri dari luar propinsi itu datang ke Tulungagung sampai harus mencarter beberapa buah bus bersama jamaah Pondok Peta lainnya. Demikian pula santri dari luar Pulau Jawa, saat haul, mereka juga banyak yang datang ke Pondok Peta dengan berombongan.
‘'Kami datang dari Lampung.Setiap haul, kami mesti datang ke Pondok,'' kata serombongan santri dari luar Pulau Jawa itu menuturkan.Di kalangan santrinya, KH.Mustaqim maupun Kiai Djalil diakui sebagai sosok yang banyak memberikan keteladanan dalam mengajarkan ilmunya.Karena itulah, santri-santrinya juga tersebar luas ke seantero negeri.
Di sisi lain, kiai yang menjadi tokoh tareqot assadziliyah itu dalam perjalanan hidupnya memang memiliki banyak kelebihan sebagaimana sering diungkap dalam manakib-nya yang dibacakan setiap peringatan haul. ‘'Sejak kecil, KH Mustaqiem sudah punya sirri. Beliau juga punya khizib kahfi,'' kata KH Mudhofir Sukhaimi yang biasa membacakan manakib KH Mustaqiem bin Hussain dalam setiap peringatan haul.
Diceritakan pula, suatu ketika, kiai Mustaqiem menerima nasib tak menyenangkan saat penjajahan Jepang. Bersama warga masyarakat yang lain, kiai kelahiran Keras, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tahun 1901 itu, harus menghadapi penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang. ‘'Saat itu, Mbah Mustaqiem disiksa dengan cara ditutup semua lubang yang ada di tubuhnya kecuali dua lubang hidungnya. Lalu, lubang hidung itu dimasuki selang dan dipompa.Setelah perutnya membesar, Jepang menginjak-injak dengan sepatu perangnya.Banyak rakyat kita yang akhirnya mati disiksa seperti ini,'' katanya.
Namun, tidak demikian yang terjadi pada diri Kiai Mustaqiem. Entah bagaimana ceritanya, Jepang memasukkan selang tidak ke lubang hidung Kiai Mustaqiem. Tapi, selang itu justru dimasukkan ke lubang ‘sabuk othok' (ikat pinggang khas orang Jawa).Maka, selamatlah kiai Mustaqiem dari penyiksaan sadis yang dilakukan penjajah Jepang.‘'Begitulah Kiai Mustaqiem mempunyai kelebihan,'' kata KH Mudhofir.
Keistimewaan lainnya, Kiai Mustaqiem juga punya ilmu bela diri yang hebat.Kemampuan bela diri ini diketahui ketika Kiai ini ditantang silat seorang pendekar ulung.KH.Mustaqiem, ternyata, mampu meladeni tantangan itu dengan bersilat di atas empat tombak.‘'Beliau juga menguasai sedikitnya 40 bahasa asing,'' terang KH Mudhofir.
Tak pelak, santri-santrinya saat itu sampai dibuat heran karena tak pernah tahu kapan kiai yang wafat pada 1970 itu belajar bahasa asing.‘'Saat kedatangan tamu dari India, Mbah Mustaqiem juga bisa meladeni pembicaraan menggunakan bahasa India,'' ujarnya. Yang patut diteladani lagi, dalam setiap acara haul diungkapkan, meski tergolong Kiai berilmu tinggi, KH. Mustaqiem punya sikap tak suka menyombongkan diri. Faktanya, suatu hari, ada Kiai besar (Syekh Abdul Rozaq) yang akan berguru kepadanya. Namun, KH Mustaqiem justru bersikap sebaliknya. Beliau malah akan berguru kepada Syekh Abdul Rozaq. ‘'Akhirnya, kedua Kiai besar itu rebutan untuk menjadi murid,'' ungkapnya.
Sepeninggal Kiai Mustaqiem, perjuangan Pondok Peta diwariskan kepada salah seorang putranya, KH Abdul Djalil Mustaqiem. Sayang, Kiai Abdul Djalil yang tak kalah kharismatik dengan sang ayah itu, Jumat (7/1/2005) lalu sudah keburu dipanggil Allah SWT. Sebagai penerus perjuangannya, kini Pondok Peta diasuh Gus Salladien, salah seorang putra Kiai Abdul Djalil Mustaqiem yang usianya baru sekitar 29 tahun.
Sebagai kiai kharismatik, kediaman Kiai Djalil hampir tak pernah sepi dari kunjungan tokoh-tokoh politik lokal maupun nasional. Menjelang Pemilu legislatif dan Pemilu presiden 2004 lalu, misalnya, kediaman Kiai Djalil banyak menjadi singgahan tokoh-tokoh politik nasional.
Saat itu, beberapa tokoh nasional yang berkunjung ke kediaman Kiai Djalil, di antaranya, Nurcholis Madjid (Cak Nur), mantan Wapres, Try Soetrisno, Amien Rais, Yusuf Kalla dan tentu saja KH Abdurrohman Wahid (Gus Dur) yang sudah tak terbilang jumlahnya mendatangi pondok Kiai Djalil.
Keterangan foto : Kiai Abdul Djalil saat menerima kunjungan mantan Wapres Try Soetrisno bersama istrinya, sebelum Pemilu 2004 lalu. Saat itu, Try Soetrisno juga merayakan ulang tahunnya di kediaman Kiai Djalil.Peringatan haul ke-38 Hadhratus Syaikh Mustaqim bin Husein, haul ke-20 Nyai Hj. Sa’diyah binti H. Rois dan haul ke-3 Hadhratus Syaikh Abdul Jalil Mustaqim untuk tahun 2008 ini jatuh pada hari Minggu kemarin tanggal 13 Januari 2008.
Pada Haul kali ini saya menghadirinya dengan memutuskan memilih berangkat bersama rombongan jamaah pengajian Cahaya Ilahi Surabaya dengan menggunakan bis mini.Kami berangkat dari rumah ketua kelompok Surabaya yaitu Ibu Hj. Wiwik Malik di daerah Pepelegi Sidoarjo dengan anggota rombongan kurang lebih 30 orang.Alhamdulillah perjalanan dapat ditempuh dengan selamat dan lancar dengan waktu tempuh sekitar 3 jam. Berangkat jam 6 dan sampai di kota Tulungagung jam 9.
Pada awalnya, semestinya sesampainya di Tulungagung kami akan bergabung terlebih dahulu dengan jamaah Syaikh Luqman Jakarta, baru kemudian berangkat bersama-sama untuk ziarah ke makam Pangeran Benowo di Bedalem Tulungagung, tetapi ternyata jamaah Syaikh Luqman berangkat terlebih dahulu dan menanti rombongan kami di Bedalem.

Setelah dari makam Pangeran Benowo, semula rombongan Surabaya berencana akan berziarah ke makam Syaikh Syamsudin atau dikenal penduduk dengan sebutan mBah Suryo yang terletak di pantai Popoh, tetapi karena keterbatasan waktu rencana tersebut tidak jadi dilaksanakan. Rombongan langsung menuju hotel untuk beristirahat. Sampai di hotel sekitar pukul 12 siang dan terlihat di berbagai sudut jalan akses menuju pondok PETA sudah terpasang sound system, spanduk, umbul-umbul dan terop/tenda, juga petugas/panitia (jumlah panitia + 2.500 orang) sudah tersebar di berbagai sudut untuk kelancaran acara haul. Tamu-tamu pun sudah mulai berdatangan.Saat itu acara khataman Qur’an sudah dimulai.
Menjelang saat Maghrib, jamaah Surabaya yang kebetulan berangkat berombongan bergerak masuk ke pondok untuk secara langsung mengikuti acara inti haul. Jamaah yang datang membludak, mulai lantai dasar sampai lantai 3 penuh sesak jamaah, belum lagi yang di luar di jalan-jalan sepanjang dan yang menuju ke arah pondok, penuh sesak oleh jamaah yang datang dari berbagai penjuru tanah air yang menurut informasi panitia jumlahnya mencapai belasan ribu.
Acara dimulai dengan pembacaan ayat suci Al Qur’an, dilanjutkan dengan sambutan ketua panitia, maulid diba’, tahlil, manaqib Syaikh Abil Hasan asy Syadzili, manaqib Syaikh Mustaqim bin Husein, manaqib Syaikh Abdul Jalil Mustaqim dan mauizhoh hasanah.
Untuk sambutan dari Panitia, disampaikan oleh Bapak Moh. Athiyah S.H., yang kebetulan juga menjabat sebagai Wakil Bupati Tuluangagung, mewakili keluarga Pondok PETA.

Manaqib Syekh Mustaqim bin Husein disampaikan oleh K.H. Mudhofir Sukhaimi, bahwa sejak usia 18 tahun, Syekh Mustaqim sudah hidup hatinya dengan sendirinya dengan dzikir Allah secara terus menerus. Syekh Mustaqim masih merupakan salah satu keturunan ke-19 Mbah Panjalu [Sayyit Ali bin Muhammad bin Umarsalah satu waliyullah penyebar Islam di bumi Indonesia pada masa Prabu Siliwangi, merupakan salah satu guru dari Prabu Kian Santang dikenal sebagai putra dari Prabu Siliwangi dan ada juga yang mengatakan Panglima Perang Prabu Siliwangi, pen.] yang maqomnya terletak di Ciamis Jawa Barat. Nah, salah satu putri dari Syekh Mustaqim ada yang diberi nama Thowillah Sumaranten. Ternyata nama Sumaranten diambilkan dari nama salah satu keturunan ke-14 Mbah Panjalu yang dikenal sebagai sosok pendekar sakti pada jamannya yang mempunyai kemampuan berjalan di atas air. Dikisahkan oleh Yai Mudhofir bahwa pada masa penjajahan Jepang, kiai-kiai banyak yang mengalami penyiksaan yang sangat sadis. Demikian juga dengan Syekh Mustaqim yang mengalami penyiksaan oleh Jepang, yaitu dengan cara ditutup semua lubang yang ada di tubuhnya kecuali dua lubang hidungnya. Lalu, lubang hidung itu dimasuki selang dan dipompa.Setelah perutnya membesar, Jepang menginjak-injak dengan sepatu perangnya. Banyak kiai yang mati dengan cara seperti ini. Alhamdulillah, Syekh Mustaqim tidak sampai mengalami yang demikian karena ternyata tentara Jepang bukannya memasukkan selang ke lubang hidung melainkan dimasukkan ke lubang ‘sabuk othok' (ikat pinggang khas orang Jawa) sehingga selamat.Pernah suatu saat Syekh Mustaqim ditantang silat seorang pendekar ulung, ternyata Beliau mampu juga meladeni tantangan itu dengan bersilat di atas empat tombak. Salah satu keistimewaan Syekh Mustaqim yang lain adalah kemampuan Beliau dalam penguasaan bahasa asing, sedikitnya 40 bahasa. Salah satunya terbukti dari salah seorang santri Beliau yang mengetahui Beliau berbicara dengan tamu yang datang dari India menggunakan bahasa India. Salah satu sikap Beliau yang perlu kita teladani adalah kerendahhatian Beliau, pernah suatu hari ada seorang kiai besar yaitu Syekh Abdul Rozaq yang akan berguru kepada Syekh Mustaqim, tetapi yang terjadi malah sebaliknya yaitu Syekh Mustaqim malah yang akan berguru kepada Syekh Abdul Rozaq, sehingga akhirnya kedua Kiai besar itu rebutan untuk menjadi murid.
Manaqib Syekh Abdul Jalil Mustaqim disampaikan oleh salah satu kiai (lupa namanya) yang merupakan teman Syekh Abdul Jalil sewaktu masih menuntut ilmu di Pondok Kiai Zainudin Mojosari.Beliau mengisahkan secara singkat tentang keistimewaan Syekh Abdul Jalil Mustaqim di antaranya adalah keistiqomahan dalam menjaga wudhu, yaitu dalam arti bahwa ketika wudhu batal, maka cepat-cepat memperbarui wudhu lagi.Satu-satunya santri yang dipanggil mbah ya hanya Syekh Jalil itu.Di pondok Kyai Zainudin itulah banyak menelurkan ulama-ulama besar.Hal tersebut tidak lepas dari ketaatan dan ketawadhuan para santri kepada gurunya yang berbuah barakah.
Mauizhoh Hasanah yang pertama disampaikan oleh K.H. Chaedar Muhaiminan dari pondok pesantren Bambu Runcing, Parakan - Temanggung, beliau salah seorang putra dari ulama besar sekaligus juga seorang mursyid Syadziliyah, almarhum K.H. Muhaiminan Gunardo.Pada intinya beliau mengupas tentang thoriqot Syadziliyah yang diajarkan oleh Syekh Mustaqim dan Syekh Jalil.
Mauizhoh Hasanah yang kedua disampaikan oleh Habaib Umar Muthohar dari Semarang. Dengan gaya yang kocak dan bahasa yang sederhana, Beliau menyampaikan banyak hal tetapi pada intinya adalah bahwa peringatan HAUL itu bukannya untuk membesar-besarkan sosok ulama yang sudah meninggal tersebut karena posisinya sudah jelas khusnul khotimah. Yang masalah adalah justru kita-kita ini yang belum tentu khusnul khotimah.Untuk itu dalam peringatan Haul tersebut kita harus dapat mengambil hikmah dari perjuangan para ulama terdahulu untuk kita teladani dan yang pasti insya Allah selalu ada barakah Allah yang mengalir pada diri kita yang menghadirinya.
Setelah selesai acara mauizhoh hasanah, kami kembali ke hotel untuk istirahat.Jalan di luar pondok yang semula dipadati oleh belasan ribu jamaah terlihat sangat kotor karena banyak terdapat sisa makanan, bungkus makanan dan minuman (berapa pun jumlah jamaah, Pondok PETA selalu membagikan nasi dan air kemasan dan semua selalu kebagian) ditambah lagi bercampur air hujan yang mengguyur. Tetapi hal itu ternyata sudah diantisipasi oleh panitia dengan pembagian tugas, yaitu jamaah dari Blitar bertugas membersihkan mulai depan pondok ke arah Timur dan jamaah dari Trenggalek bertugas membersihakan mulai depan pondok ke arah Barat. Peralatannya pun sudah tersedia dalam jumlah yang cukup. Ditambah lagi dengan para petugas kebersihan kota yang memang sudah standby. Maka hanya dalam tempo satu jam kondisinya sudah kembali bersih.
Esok paginya, hari Senin, tanggal 14 Januari 2008, setelah sarapan pagi kami kembali masuk Pondok untuk aurodan di maqom Syekh Mustaqim dan Syek Jalil bersama jamaah dari Jakarta yang datang secara berombongan. Selesai aurodan sambil dijamu sarapan pagi khas pondok, kami semua mendapat wejangan dari Syekh Abdul Ghofur Mustaqim, kakak dari Syekh Abdul Jalil Mustaqim. Tetapi sebelumnya kami semua diingatkan oleh Syekh Luqman agar selama mendengar wejanagan dari mbah Ghofur, tidak berhenti hati harus dzikir : Allah... Allah...
Wejangan Syekh Abdul Ghofur Mustaqim

Setelah menerima wejangan, kami semua kembali ke hotel untuk berkemas, setelah sebelumnya menerima bekal garam berasma’.Rencana perjalanan berikutnya adalah silaturahim ke mbah Sukri (salah satu murid mbah Taqim yang dikenal dengan kemakbulan doanya), silaturahim ke nDalemnya mbah Ghofur (di Mantenan, Blitar), ziarah ke maqom Syekh Abdul Qodir al Kadiri dan langsung pulang menuju Surabaya.


Maqom Syekh Abdul Qodir al Kadiri, merupakan persinggahan ziarah berikutnya setelah dari kediaman mbah Ghofur. Terletak di kota Kediri, membaur dan berada di sudut pemakaman umum sehinga tidak tampak bahwa yang dimakamkan di situ adalah salah seorang waliyullah. Nama Syekh Abdul Qodir al Kadiri bisa kita jumpai dalam hadhorot Hizb Asfa’. Selesai ziarah, bertepatan dengan waktu menjelang maghrib dan karena sebenarnya sudah agak lama perut bersabar menuntut jatahnya, maka banyak di antara anggota rombongan langsung bertebaran di berbagai sudut jalan yang bisa dijangkau untuk menghilangkan rasa lapar. Sepiring nasi pecel Kediri dan segelas teh hangat, sungguh sangat nikmat disantap di kala lapar. Benarlah kata orang tua dulu bahawa mangan kuwi lawuhe luwe – makan itu ikannya lapar, karena dalam kondisi lapar, apa pun yang kita makan akan terasa nikmat sehingga lebih terasa syukurnya. Makan setelah kenyang dan berhenti makan sebelum kenyang, begitu Rasulullah mengajarkan.
Dari Kediri, rombongan langsung meluncur kembali ke Surabaya dengan sejuta hikmah yang terpatri di dada yang perlu diendapkan, direnungkan dan diejawantahkan dalam rangka mencari keridhoan Allah dunia-akhirat. Sekitar pukul setengah sepuluh malam, rombongan tiba kembali di rumah Bu Wiwik dan langsung menyebar kembali pulang ke kediaman masing-masing.
Capek memang, tetapi ada suatu kesegaran ruhani yang semoga juga terpancar dan meyelimuti keluarga di rumah.Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar