Kamis, 31 Maret 2011

KONSEP DASAR DALAM TASAWUF


MAKALAH
KONSEP DASAR DALAM TASAWUF
Mata Kuliah : Ilmu Tasawuf
Dosen pengampu :
Zainal Hamdi, M.Fil.


Description: E:\LOGO\LPD.JPG
 










Penyusun :
Faizin


AL JAMI’AH LI ULUM AL QUR’AN WA AL TAFSIR
TARBIYATUT THOLABAH
Kranji Paciran Lamongan
1431H/2010













KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Ilmu Tasawuf “. Semoga jerih payah kami dicatat sebagai amal baik yang nantinya bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi seluruh mahasiswa pada umumnya.
Dalam makalah ini akan kami uraiakan tentang “Konsep Dasar Dalam Tasawuf” yang mungkin tidak asing lagi ditelinga kita sekalian.
Kami menyadari,makalah ini masih jauh dari kesempurnaan.Untuk itu,Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah yang akan datang, Dan makalah ini adalah makalah perdana mata kuliah “ Ilmu Tasawuf “ pada semester III ini karena kami menyadari kebenaran yang haq hanyalah milik Allah SWT.
                                                                                                           

Penyusun, 30 Oktober 2010








BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Memahami dan mempraktekkan tasawuf merupakan hal yang tidak dapat ditawar bagi para pencari ridho Sang Khaliq. Untuk itu saya selaku pemakalah mengangkat dan menguraikan masalah pembahasan tasawuf  dalam dunia sivitas akademika dengan harapan semoga bisa mengerti dan memahaminya, yang akhirnya bermuara pada praktek sehari-hari. Aamin Yaa Robbal Aalamin.
B.  Rumusan Pembahasan
1.      Apakah pengertian maqamat dan bagaimana penjelasannya ?
2.      Apakah pengertian haal dan bagaimana penjelasannya ?
3.      Apakah pengertian ma’rifat dan bagaimana penjelasannya ?
4.      Apakah pengertian ittihad dan bagaimana penelasannya ?
C. Tujuan Pembahasan
1.      Dapat mengerti dan memahami maqamat.
2.      Dapat mengerti dan memahami haal.
3.      Dapat mengerti dan memahami ma’rifat.
4.      Dapat mengerti dan memahami ittihad.









BAB II
PENDAHULUAN
A. Maqomat
Maqom adalah sebuah istilah dunia sufistik yang menunjukkan arti tentang suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik( seorang hamba penempuh jalan spiritual) dengan melalui beberapa tingkatan mujahadah secara gradual dari suatu tingkatan laku batin menu pencapaian tingkatan maqom berikutnya dengan sebentuk amalan mujahadah tertentu, sebuah pencapaian kesejatian hidup dengan pencarian yang tak kenal lelah, beratnya syarat dan beban kewajiban yang harus dipenuhi. Ketika itu seseorang yang sedang menduduki dan memperjuangkan untuk menduduki sebuah maqom proses pencarian harus menegakkan nilai-nilai yang terkandung dalam maqom yang sedang dikuasainya. Karena itu dia akan selalu sibuk dengan berbagai riadloh.[1]
Dikalangan sufi. Orang yang pertama membahas masalah al maqamat atau jenjang dan fase perjalanan menu kedekatan dengan Tuhan barangkali adalah al Haris Ibn Hasad al Muhasiby wafat tahun 243 H, ia digelari al Muhasiby karena kegamarannya melakukan muhasabah atau introspeksi diri.[2] Seseorang tidak akan mencapai maqam dari maqam sebelumnya selama dia belum memenuhi ketentuan-ketentuan hukum dan syarat-syarat maqam yang hendak melangkahinya orang yang belum mampu melakukan qona’ah ( maqam qana’ah yaitu kondisi batin yang puas dengan pemberian Allah, meskipun amat kecil ) sikap pasrahnya ( tawakkal atau maqam tawakkal ) tidak sah. Orang belum mampu berpasrah diri kepada Allah penyerahan totalitas dirinya ( kewaliannya ) tidak sah. Orang yang belum taubat penyesalannya tidak sah, dan orang yang belum wira’i ( sikap hati-hati dalam penerapan hukum ) kezuhudannya tidak sah. Berarti maqam zuhd umpamanya tidak akan tercapai sebelum pelakunya itu sudah melakukan sikap wira’i (maqam wira’i). Maqam arti yang dimaksud adalah penegakan atau aktualisasi suatu nilai moral sebagaimana al madkhal (tempat masuk) penunjukkan artinya memusat pada makna proses pemasukan dan al makhraj (tempat keluar) mengacu pada arti proses pengeluaran karena itu, keberadaan maqam seseorang tidak dianggap sah kecuali dengan penyaksian kehadiran Allah secara khusus dalam nilai maqam yang diaktualkan, mengingat sahnya suatu bangunan perintah Tuhan hanya berdiri di atas dasar yang sah pula.[3] 
Terjadi perbedaan pendapat dikalangan para sufi tentang jumlah dan urutan dari maqam ini. Al Qusyairiyah misalnya mengatakan 6 dengan urutan :
التوبة – الورع – الزهد – التوكل – الصبر – الر ضا
Al Thusi mengatakan 7, dengan urutan :  
التوبة – الورع – الزهد – الفقر – الصبر – التوكل – الرضا
Al Ghozali mengatakan ada 10, dengan urutan :
التوبة – الصبر – الشكر – الرجاء – الخوف – الزهد – المحبة – العشق – الانس - الرضا[4]
B.                 Al Ahwal
Al hal (keadaan) menurut kaum sufi adalah makna nilai atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis, tanpa unsur kesengajaan, usaha, latihan, dan pemaksaan. Seperti rasa gembira, sedih, lapang. Sempit, rindu, gelisah, takut, gemetar dan lainnya. Keadaan-keadaan tersebut merupakan pemberian.[5]
Datangnya situasi dan kondisi psikis itu tidak menentu, terkadang datang dan perginya itu berlansung cepat yang disebut lawa’ih, adapula yang datang dan perginya kondisi mental itu dalam tempo yang panjang serta lama disebut bawadih. Apabila keadaan mental itu telah terkondisi dan menjadi kepribadian, itulah yang disebut al haal. Menurut al Qusyairy, al haal selalu bergerak naik setahap demi setahap sampai ketingkat kesempurnaan rohani, karena keadaannya terus menerus bergerak dan selalu beralih ganti itu disebut al haal.[6] Salah seorang guru sufi berkata,  Haal ibarat kilat, jika hal itu tetap maka,  dia menjadi suara hati” . Para guru sufi mengatakan bahwa haal, sebagaimana namanya, menunjukkan arti tentang sesuatu (rasa nilai getaran) yang menguasai hati kemudian hilang. Sementara kaum lain member isyarat tentang ketetapan dan kestabilan haal, mereka mengatakan sesungguhnya haal ketika tidak bersifat tetap dan berturut-turut, makan dia disebut kilasan cahaya, pemiliknya tidak sampai pada haal ketika sifat itu menjadi kesenantiasaan, maka dia dinamakan haal.[7]
Apabila diperhatikan isi dari haal itu sebenarnya merupakan manifestasi dari maqam yang mereka lalui sebelumnya. Artinya bahwa kondisi mental yang digambarkan dengan haal itu sebagai hasil dari latihan itu dan amalan yang mereka lakukan, Cuma saja, karena sufi selamanya tawakal kepada Allah maka mereka dengan mengatakannya demikian sebab dalam kesempatan lain mereka mengatakan, kendatipun kondisi kejiwaan itu diperoleh sebagai karunia Allah tapi orang yang ingin mendapatkannya harus berusaha meningkatkan kualitasnya melalui latihan dan memperbanyak ibadah. Hal ini berarti orang yang pantas menerima karunia haal hanyalah orang yang berusaha ke arah itu.[8]
C. Ma’rifat
Ma’rifat dari segi bahasa berarti pengetahuan atau pengalaman. Sedangkan dalam istilah tasawuf kata ini diartikan sebagai pengenalan yang langsung tentang Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat. Nampaknya ma’rifat lebih mengacu pada kondisi mental. Sedangkan hakikat mengarah pada kualitas pengetahuan atau pengamalan. Kualitas pengetahuannya itu sedemikian sempurna dan terang sehingga jiwanya merasa menyatu dengan yang diketahuinya itu. Untuk mencapai kualitas tertinggi itu seorang kandidat sufi itu harus melakukan latihan keras dan sungguh-sungguh yang disebut tasawuf ‘amaly. Sedangkan serial amalan itu disebut  al Maqamat atau jenjang menuju kehadirat tuhan yang sudah diterangkan di atas.[9]
Imam al Junaid berkata, “sesungguhnya awal yang dibutuhkan oleh sorang hamba dari sesuatu yang bersifat hikmah adalah mengetahui Sang Pencipta atas keterciptaan dirinya”. Kebaruan diri tentang bagaimana kebaruannya, sifat keperbedaan sang pencipta dari sifat makhluq, sifat keperbedaan dzat yang lama dari yang baru (alam), menurut pada ajakannya, dan mengetahui keharusan diri utnuk berta’at kepadanya. Sesungguhnya orang yang belum mengetahui dzat Sang Penguasa Alam, maka ia tidak akan mengetahui keberadaan kerajaan alam tentang status kepemilikannya untuk siapa.
Menurut Abu Thayib al Maraghi setiap unsur pada diri seorang hamba memiliki fungsi yang berbeda-beda berkaitan dengan kema’rifatannya kepada Allah. Akal, menurutnya, memilki fungsi pembuktian dalil secara logika, hikmah member isyarat dan ma’rifat membeti kesaksian secara utuh. Akal menunjukan, hikmah mengisyaratkan, dan ma’rifat mempersaksikan. Karena itu kejernihan ibadah tidak akan diperoleh kecuali dengan kejernihan tauhid. Kata Imam al Junaid, tauhid berarti pengesaan Dzat Yang Esa dengan hakikat dan kesempurnaan keesaan-Nya. [10]
Ma’rifatullah itu juga bagian dari rahasia Allah. Kema’rifatan tidak tergantung ibadah dan ketekunan si hamba, belum tentu pula murid yang sangat tekun diberi kema’rifatan seperti itu, jadi kema’rifatan itu murni anugrah dan kehendak Allah, tanpa tergantung ikhtiar hamba-Nya. Sebagai hamba hanya punya hak berusaha dan berdo’a agar diberi cinta dan ma’rifat-Nya. Begitu juga orang yang memiliki keistemewaan, kehebatan diluar akal nalar, belum tentu dia ma’rifat kepada Allah begitu juga sebaliknya seseorang diberi ma’rifat tanpa sedikitpun terlihat keistemewaanya.[11]
D. Ittihad
Istilah ittihad adalah bersatunya seorang sufi sedemikian rupa dengan Allah setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana’) dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baqa’ (tetap bersatu dengan Allah).[12] Apabila seorang sufi telah berada dalam keadaan fana’ dalam pengertian di atas, maka pada saat itu dia telah dapat menyatu dengan Tuhan sehingga wujudiyahnya kekal dan baqa’. Di dalam perpaduan itu dia menemukan hakikat jati dirinya sebagai manusia yang berasal  dari Tuhan, itulah disebut dengan ittihad. Paha ini muncul sebagai konsekuensi lanjut dari pendapatnya bahwa jiwa manusia adalah pancaran Nur Ilahi. Akunya manusia itu adalah pancaran dari Yang Maha Esa. Barang siapa yang mampu membebaskan diri dari alam lahiriahnya atau mampu meniadakan pribadinya dari kesadaran sebagai insan, maka ia akan memperoleh jalan kembali kepada sumbernya asalnya. Dia akan menyatu dengan yang Tunggal, yang dilihat dan dirasakan hanya satu, keadaan itulah yang disebut ittihad.[13]
Paham ittihad pertamakali dikemukakan oleh sufi Abu Yazid al Busthami (meninggal dan di Bistham Iran 261 H/874 M) dalam sewaktu-waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat shubuh Abu Yazid al Bushtami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya, “Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah aku” mendengar kata-kata itu orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al Busthami telah gila menurut pandangan para sufi, ketika mengucapkan itu al Busthami dalam keadaan ittihad suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawuf. Dalam keadaan ittihad seorang sufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh, seakan-akan dia mengaku sebagai Tuhan seperti yang diucapkan al Busthami di atas. Kata-kata seperti itu disebut syathohat (perkataan aneh-aneh yang keluar dari mulut seorang sufi ketika ittihad). Dalam pandangan sufi kata-kata itu bukan keluar dari seorang sufi, tapi kata-kata Allah melalui lisan seorang sufi yang sedang dalam keadaan ittihad bukan Dzat Allah yang berbicara tapi aspek Allah yang ada dari sufi itulah yang sedang berbicara.[14]

Rumi berkata :
Burung-burung kesadaran
Telah turun dari langit
Dan terikat pada bumi
Sepanjang dua atau tiga hari
Mereka merupakan bintang-bintang di langit agama
Yang dikirim dari langit ke bumi
Demikian pentingnya penyatuan dengan Tuhan secara sadar
 Dan betapa menderitanya keterpisahan dengan-Nya.[15]











BAB III
PENUTUPAN
A.     Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat kami simpulkan beberapa kesimpulan antara lain :
a.      Maqom adalah sebuah istilah dunia sufistik yang menunjukkan arti tentang suatu nilai etika yang akan diperjuangkan dan diwujudkan oleh seorang salik.
b.      Al hal (keadaan) menurut kaum sufi adalah makna nilai atau rasa yang hadir dalam hati secara otomatis, tanpa unsur kesengajaan, usaha, latihan, dan pemaksaan.
c.       Ma’rifat dari segi bahasa berarti pengetahuan atau pengalaman. Sedangkan dalam istilah tasawuf kata ini diartikan sebagai pengenalan yang langsung tentang Tuhan yang diperoleh melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat.
d.      Ittihad adalah bersatunya seorang sufi sedemikian rupa dengan Allah setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana’) dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baqa’
B.     Saran-Saran
a.       Kami menghimbau kepada teman-teman untuk mencari  pengetahuan lebih luas mengenai maqamat, ma’rifat, haal, ittihad yang belum mampu kami bahas pada makalah singkat kami ini.
b.      Kami mengharap kepada teman-teman untuk lebih serius dalam mengerakan tugas.
Demikian sajian makalah kami ini, mudah-mudahan apa yang kami uraikan pada makalah ini bisa memberi manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini.
Dalam pembuatan makalah ini pasti masih banyak kekurangan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan  demi kesempurnaan pada penyusunan makalah mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Syekh al Qusyairi, Risalah al Qusyairiyah(Jakarta: Pustaka Amani, 2007);
Prof. H. A. Rifa’i Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme(Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 2002);
Drs. H. M. Jamil, MA, Cakrawala Tasawuf(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007);
M. Luqman Hakim, MA, Cahaya Sufi (Jakarta:P.T Cahaya Sufi Indonesia, 2005);
Hartono Ahmad Jaiz, Thariqoh Tasawuf Tahlilan dan maulidan, 2006;
Jalal al Din al Rumi, Kisah Keajaiban Cinta(Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2005);


[1] Syekh al Qusyairi, Risalah al Qusyairiyah(Jakarta: Pustaka Amani, 2007), cet. II, hal. 59
[2] Prof. H. A. Rifa’i Siregar, Tasawuf Dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme(Jakarta: P.T Raja Grafindo Persada, 2002), cet. II, hal. 112
[3] Syekh al Qusyairi, op. cit., hal. 57-58
[4] Drs. H. M. Jamil, MA, Cakrawala Tasawuf(Jakarta: Gaung Persada Press, 2007), cet. II, hal. 46-47
[5] Syekh al Qusyairi, op. cit., hal. 59
[6] Prof. H. A. Rifa’i Siregar, op. cit., hal. 131
[7] Syekh al Qusyairi, op. cit., hal. 60
[8] Prof. H. A. Rifa’i Siregar, op. cit., hal. 132
[9] Prof. H. A. Rifa’i Siregar, op. cit., hal. 112-113
[10] Syekh al Qusyairi, op. cit., hal. 40-41
[11] M. Luqman Hakim, MA, Cahaya Sufi (Jakarta:P.T Cahaya Sufi Indonesia, 2005) edisi Agustus, hal. 43
[12] Hartono Ahmad Jaiz, Thariqoh Tasawuf Tahlilan dan maulidan, 2006, cet. XI, hal. 58
[13] Prof. H. A. Rifa’i Siregar, op. cit., hal. 152-153
[14] Hartono Ahmad Jaiz, op. cit., hal. 58
[15]Jalal al Din al Rumi, Kisah Keajaiban Cinta(Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2005), cet. VI, hal. 40

MAKALAH
UNSUR-UNSUR MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN

Mata Kuliah : Sosilologi

Dosen Pengampu :

Anas Fakhruddin, S.T.H.


 






Oleh:
faizin

AL JAMI’AH LI ULUM AL QUR’AN WA AL TAFSIR
TARBIYATUT THOLABAH
KRANJI PACIRAN LAMONGAN
2010






SEKAPUR SIRIH
Alhamdulillah, segala puja dan puji kami haturkan kehadirat Allah S.W.T, Sang Raja Diraja, Tuhan semesta alam. Yang Senantiasa memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah “ Sosiologi”.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Sang Penyempurna Akhlaq, Percontohan Yang Terbaik bagi Umat manusia, Nabi Muhammad S.A.W serta para sahabat beliau dan keluarga beliau.
Makalah yang kami susun ini membahas tentang “Unsur-unsur Masyarakat dan Kebudayaan”. Semoga makalah yang kami susun ini selain sebagai pemenuhan tuntutan tugas juga bisa membantu teman-teman dalama memeperdalam ilmu pengetahuan.
Kami menyadari makalah ini jauh dari dari sempurna sehingga kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan. Akhirnya semoga makalah yang singkat ini bermanfaat bagi kami dan pembaca makalah ini.

                                                                                    Kranji,  14 November 2010
                                                                                   
                                                                                    Penyusun






DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PENGANTAR PENYUSUN.................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I MUKADIMAH............................................................................................. 1
A.    Latar Belakang............................................................................................... 1
B.     Formulasi Masalah......................................................................................... 1
C.     Tujuan Pembahasan........................................................................................ 1
BAB II HADITS AHAD.......................................................................................... 2
A.    Unsur-unsur masyarat.................................................................................... 2
B.     Faktor-faktor Unsur Masyarakat.............................................................
C.     Kriteria Masyarakat Yang Baik...............................................................
D.    Kebudayaan……………………………………………………………….
E.     Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan…………………..
F.      Unsur-unsur Kebudayaan…………………………………………………
G.    Proses dan perkembangan kebudayaan.…………………………………
BAB III PENUTUP.................................................................................................. 7
A.    Kesimpulan.................................................................................................... 7
B.     Saran.............................................................................................................. 7
BIBLIOGRAFI......................................................................................................... 8









BAB I
PEMBUKAAN
A.    Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri, kita sebagai manusia tidak akan pernah bisa hidup secara individulisme . Dalam segala aktifitas kehidupan kita tidak akan bisa menjalani sendiri. Tidak salah jika Aristoteles menyebut manusia sebagai zoon politicon yaitu manusia yang membutuhkan orang lain.
Salah satu bentuk sosial adalah kumpulan manusia yang disebut masyarakat. Untuk mengetahui unsur-unsur terbentuknya masyarakat, kami selaku pemakalah akan membahas sedikit tentang hal tersebut.
B.     Formulasi Masalah
1.      Apa saja Unsur-unsur masyarat?
2.      Apa saja Faktor-faktor Unsur Masyarakat?
3.      Bagaimana Kriteria Masyarakat Yang Baik?
4.      Apa yang dimaksud Kebudayaan?
5.      Apa yang dimaksud Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan?
6.      Apa saja Unsur-unsur Kebudayaan?
7.      Bagaimana Proses dan perkembangan kebudayaan?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui Unsur-unsur masyarat.
2.      Mengetahui Faktor-faktor Unsur Masyarakat.
3.      Dapat menjelaskan Kriteria Masyarakat Yang Baik.
4.      Dapat menjelaskan Kebudayaan.
5.      Dapat menjelaskan maksud dari Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan.
6.      Menegetahui Unsur-unsur Kebudayaan.
7.      Dapat menjelaskan Proses dan perkembangan kebudayaan








 BAB II
A.    Unsur-unsur masyarakat
Soekanto (1982:24) menyebutkan beberapa unsur masyarakat (Society) sebagai berikut:
1.       Manusia yang hidup bersama.
2.       Bercampur untuk waktu yang lama.
3.       Adanya kesadaran bahwa mereka adalah satu kesatuan.
4.       Mereka merupakan suatu system hidup bersama.
Sementara itu Abdulsyani (2007:14) juga mengungkapkan beberapa unsur masyarakat sebagai berikut:
1.      Sejumlah masnusia yang hidup bersama dalam waktu yang relative lama; di dalamnya manusia dapat saling mengerti dan merasa dan mempunyai harapan-harapan sebagi akaibat dari hidup bersama itu. Terdapat system komunikasi dan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antarmanusia dalam masyarakt tersebut.
2.      Manusia yang hidup bersama itu merupakan satu kesatuan
3.      Manusia yang bersama itu merupakan suatu system hidup bersama, yaitu hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan, oleh karenanya setiap anggota masyarakat merasa dirinya asing-masing terikat dengan kelompoknya.[1]
B.     Faktor-faktor Unsur Masyarakat
Menurut Soerjono Soekanto dalam masyarakat setidaknya memuat unsur sebagai berikut ini :
1.      Berangotakan minimal dua orang.
2.      Anggotanyasadarsebagaisatukesatuan.
3.      Berhubungan dalam waktu yang cukup lama yang menghasilkan manusia baru yang saling berkomunikasidan membuat aturan-aturan hubungan antar anggota masyarakat.
4.      Menjadi sistem hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan serta keterkaitan satu sama lain sebagai anggota masyarakat.
C.    Kriteria Masyarakat Yang Baik
Menurut Marion Levy diperlukanempatkriteria yang harusdipenuhi agar sekumpolanmanusiabisadikatakan / disebutsebagaimasyarakat.
1.      Ada sistemtindakanutama.
2.      Saling setia pada sistem tindakan utama.
3.      Mampu bertahan lebih dari masa hidup seorang anggota.
4.      Sebagian atau seluruh anggota baru didapat dari kelahiran / reproduksi manusia.[2]
D.    Kebudayaan
Kebudayaan berasal dari kata sansakerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal disamping kebudayan ada kata kultur yang berasal dari bahasa inggris culture. Culture berasal dari kata latin yaitu colere yang diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.[3]
Banyak para ahli yang berpendapat tentang pengertian kebudayaan, diantaranya:
1.      E.B. Tyilor, budaya adalah suatu keseluruan kompleks yang meliputi pengetahuan,kepercayaan, kesenian,moral,keilmuan,hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
2.      R. Linton, kebudaya’an dapat dipandang sebagai konfigurasi tingkah laku yang dipelajari dan hasil tingkah laku yang dipelajari, dimana unsure pembentuknya didukung dan diteruskan oleh anggota masayarkat lainnya.
3.      Herkovits, kebudaya’an adalah bagian dari lingkungan hidup yang diciptakan oleh manusia.[4]
Selo soemarjan dan Soelaiman Sumardi memberikan batasan kebudayaan sebagai semua hasil karya rasa dan cipta masyarakat.karya menghasilkan tehknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah yang diperlukan manusia untuk menguasai alam sekelilingnya untuk keperluan masyarakat.Rasa yang meliputi jiwa manusia mewujudkan segala kaidah-kaidah dan nilai-nilai kemasyarakatan dalam arti luas misalnya aganma,idiologi,kebatinan,kesenian dan semua unsur hasil ekspresi dari jiwa manusia sebagai anggota masyarakat. Cipta merupakan kemampuan mental,kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup sebagai anggota masyarakat yang antara lain menghasilkan filsafat dan ilmu pengetahuan baik murni maupun terpaan,rasa dan cipta menghasilkan kebudayaan rohaniah atau spiritual atau immaterial.[5]
E.     Manusia sebagai pencipta dan pengguna kebudayaan
Tercipta atau terwujudnya suatu kebudayaan adalah sebagai hasil interaksi antara manusia dengan segala alam raya ini., yang talah dilengkapi tuhan dengan akal dan pikiranya menjadikan mereka khalifah dimuka bumi dan diberi kemampuan yang disebut oleh supartono(dalam Rafael raga maran,1999:36)sebagai daya manusia,manusia memiliki kemampuan daya antara lain akal, fantasi dan perilaku.
Kebudayaan mempunyai kegunaan yang sangat besar bagi manusia,bermacam-macam kekuatan yang harus dihadapi masyarakat dan anggotanya seperti kekuatan alam maupun kekuatan lain yang tidak selalu baiknya.kecuali itu,manusia memerlukan kepuasan baik dibidang spiritual maupun material. kebutuha-kebutuhan tesebut dipenuhi oleh kebudayaan yang bersumber pada masyarakat itu sendiri.
Manusia merupakan mahluk yang berbudaya,melalui akalnya manusia dapat mengembangkan kebudayaan.begitu pula manusia hidup dan tergantung pada kebudayaan sebagai hasil ciptaanya.kebudayaan juga memberikan aturan bagi manusia dalam mengolah lingkungan teknologi hasil ciptaanya.[6]
F.     Unsur-unsur Kebudayaan
Sosiologi mengklasifikasi tiap kebudayaan menjadi beberapa macam unsur. Unsur-unsur pokok atau besar disebut culture univerals. Hal ini menunjukan bahwa unsur-unsur tersebut bersifat universal, dijumpai pada setiap kebudaynaan yang ada dimuka bumi.
Mengenai unsur-unsur pokok dari kebudayaan tersebut ada beberapa pandangan dari beberapa sarjana.diantaranya:
1.      Melvil Le Y . Herrskovit,mengajukan ada empat unsur pokok dari kebudayaan yaitu:
a)      Alat-alat tehknologi
b)      System ekonoki
c)      Keluarga
d)     Kekuasaan politik
2.      C.kluc Hohn.menguraikan ulasan-ulasan para sarjana mengenai pkok unsure dari kebudayaan dan menyimpulakan pendapat-pendapat para sarjana menunjukan adanya tujuh unsur kebudayaan yang dianggap culture kebudayaan.yaitu:
a)      Peralatan dan perlengkapan hidup manusia(pakaian,perumahan,alat-alat rumah tangga ,senjata,alat-alat produksi,transport,dan sebagainya.
b)      Mata pencaharian hidup dan system-sistem ekonomi (pertanian, peternakan, system produksi, system distribusi dan sebagainya.
c)      Sitem kemasyarakatan (system kekerabatan, organisasi politik, system hukum, system perkawinan).
d)     Bahasa (lisan maupun tertulis).
e)      Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak, dan sebagainya.
f)       Sistem pengetahuan.
g)      Religi(system kepercayaan)[7]
G.    Proses dan perkembangan kebudayaan
Perkembangan zaman  mendorong terjadinya perubahan-perubahan disegala bidang, termasuk dalam bidang kebudayaan.mau tidak mau kebudayaan yang dianut kelompok sosial akan bergeser.cepat atau lambat pergeseran ini aka mwnimbulkan konflik antara kelompok-kelompok yang menghendaki perubahan dengan kelompok-kelompok yang tidak menghendaki perubahan. Suatu komunitas dalam kelompok sosial bisa saja menginginkan adanya perubahan dalam kebudayaan yang mereka anut,dengan alasan sudah tidak sesuai lagi dengan zaman yang mereka hadapi saat ini. Namun, perubahan kebudayaan ini kadangkala disalah artikan menjadi suatu penyimpangan kebudayaan .interprestasi ini mengambil dasar pada adanya budaya-budaya baru yang tumbuh dalam komunitas mereka yang bertentangan dengan keyakinan mereka sebagai penganut kebudayaan tradisional selama turun menurun.[8]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Bedasarkan uraian di atas, dapat kami simpulkan beberapa kesimpulan antara lain.
1.      Beberapa unsur masyarakat (Society) sebagai berikut:
a.       Manusia yang hidup bersama.
b.      Berampur untuk waktu yang lama.
c.       Adanya kesadaran bahwa mereka adalah satu kesatuan.
d.      Mereka merupakan suatu system hidup bersama.
2.      Kebudayaan berasal dari kata sansakerta buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal
B.     Saran-saran
1.      Kami menghimbau kepada teman – teman seperjuangan untuk mencari lebih luas tentang problem dalam filsafat ilmu yang belum bisa kami bahas pada makalah kami ini.
2.      Kami mengharap kepada teman – teman untuk lebih kompak dalam mengerjakan tugas sehingga dapat mendapat manfaat dari adanya pembuatan tugas dengan  utuh dan agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Demikian sajian makalah ini mudah-mudahan apa yang kami uraikan pada makalah ini bisa memberi manfaat bagi kami dan yang mengkaji makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA
Drs.H.M. Arifin Noor,Ilmu Sosisl Dasar,Pustaka Setia:bandung,cet III,2007,hal:54-55
Dra.Elly M. Setiadi.M.Si,Ilmu Sosial Budaya Dasar,Kencana Prenada Group:Jakarta,cet III
http://organisasi.org/pengertian-masyarakat-unsur-dan-kriteria-masyarakat-dalam-kehidupan-sosial-antar-manusia. diaksespadatanggal 12 – 11 – 2010.













[2]http://organisasi.org/pengertian-masyarakat-unsur-dan-kriteria-masyarakat-dalam-kehidupan-sosial-antar-manusia. diaksespadatanggal 12 – 11 – 2010.

[3] Drs.H.M. Arifin Noor,Ilmu Sosisl Dasar,Pustaka Setia:bandung,cet III,2007,hal:54-55
[4] Dra.Elly M. Setiadi.M.Si,Ilmu Sosial Budaya Dasar,Kencana Prenada Group:Jakarta,cet III,hal:27-28
[5] Drs.H.M. Arifin Noor,loc cit,hal:55
[6]Dra.Elly M. Setiadi.loc cit hal:36-37
[7]Drs.H.M. Arifin Noor,loc cit,hal:56-57
[8] Dra.Elly M. Setiadi.loc cit hal:41